INDAHNYA NEGERIKU

Cerpen Repost dari blog lama yang lupa pasword yang ini nih.
Dulu cerpen ini kubikin dalam rangka ikut kelas menulis di sebuah group. Sayangnya sekarang groupnya sudah mati.

INDAHNYA NEGERIKU

Setiap kali duduk bersandar pada pohon. Memandang lautan padi yang menghijau dari atas bukit ini. Rasanya jiwaku sedang beranak. Alam begitu besar. Begitu berkuasa. Manusia kerdil seketika. Sejauh mata memandang hanya sawah yang terhampar. Manusia hanyalah noda. Jauh di ujung-ujung pandang, pohon berbaris. Kokoh menjadi pagar-pagar lereng perbukitan yang kian meninggi. Menopang gunung. Mencengkeram batu-batu besar yang dikandungnya.
Dari sini, jika kau mau tengadah sedikit saja. Awan-awan seputih kapas berterbangan ringan. Membentuk mimpi-mimpinya bersama langit. Berdialog tentang cuaca bersama warna, kecepatan angin, dan massanya sendiri. Burung menggagahi angin. Mengejar langit yang tak pernah lelah di ketiggian. Bersuka mengirim pesan cuaca. Atau sekedar berpesta manakala fajar berkelana dan senja menampakkan wajahnya.
Setiap kali aku duduk di sini, aku tak lagi merasa perlu mengangkuhi Semeru. Berdiri di atas awan setelah mempersembahkan nyawa pada maut. Pulang meninggalkan bungkus-bungkus mie instan yang beralih tugas membungkus lereng Semeru. Atau memercik api sebab perapian tak benar-benar padam.
Jika ingin berdiri di atas awan kemarilah. Datang ke bukit ini setelah subuh saat kabut jatuh mencium bumi. Berdirilah di sini, tatap ke timur. Matahari hanya seperti lampu neon di kejauhan. Matamu tak akan sakit melihatnya. Diamlah di sini, tunggu matahari merangkak sedikit lagi. Ketika matahari mulai merona malu pada angkasa. Kau akan melihat lautan awan menutup padi yang baru tumbuh. Kabut menggeliat malas di kakimu. Perlahan, dia akan terbang seiring matahari yang semakin berani. Dingin yang sedari subuh tadi kau rasakan berganti rasa hangat. Bahkan hangatnya bisa kau seduh jadi penyemangatmu hari ini.
Di sini, jiwaku serasa terlahir lagi, lagi, dan lagi. Maka, kemarilah jika kau pun ingin jiwa-jiwa baru yang segar. Jiwa-jiwa penuh syukur yang memuji keindahan semesta. Jiwa-jiwa yang mengerti betapa kecilnya manusia. Betapa tak sebandingnya keinginan manusia dan perjalanan sang alam. Di sinilah tempatnya. Di atas bukit kecil yang ditumbuhi belukar dan pohon-pohon tua. Dikelilingi hamparan sawah yang dihuni padi, kala musim hujan begini. Dipagari pohon-pohon yang barangkali hutan, barangkali kebun liar, di kejauhan sana. Di seberang sawah, rumah-rumah begitu pipih tergenjet hijau yang menganga. Ditangkup barisan bukit yang kian tinggi membentuk gugusan pegunungan membiru saking jauhnya.
Tak perlu menyiapkan bekal sepenuh carrier sekian liter lengkap dengan matras, jaket, dan sepatu yang tidak murah-sebab bagus kualitasnya. Tak perlu mengusung tenda dalam mobil off road dan persedian bahan bakar minyak-sebab takut kehabisan di tengah hutan. Tak perlu pula bayar-di sini bahkan tak ada kawanan amarillis yang bisa diinjak-injak. Tak perlu membawa bekal. Jika lapar petik saja mangganya, itu pun kalau berbuah. Jika haus, di dekat sini ada sumber air. Atau, bisa minum di sumur-sumur sawah. Tidak kira mati, sebab airnya tak beracun. Petani-petani di sini sudah membuktikannya. Jadi, jangan banyak tingkah dengan mengatakan air ini tidak higienis. Toh, mie instan yang kau bawa-bawa manakala naik gunung lebih beresiko untuk kesehatanmu.
Disinilah tempatnya, sayang. Tempat yang enggan didekati orang manakala malam merentangkan selendangnya. Sebab jangkrik akan bernyanyi bersama belalang, katak, desau angin, dan patah-patah ranting. Saat seperti itu, bintang bersorak senang. Cahayanya yang butuh ribuan tahun cahaya untuk sampai akhirnya tiba di bumi. Rembulan tak selalu bundar. Bayang-bayang bumi selalu ingin menang. Wajahnya bahkan masih pula dilukai awan yang tak mau menyibak. Terkadang sekelebat bayangan putih atau pijar bola api lewat. Terkadang ada pula suara cekikikan di atas dahan atau tangis tertahan di antara semak.
Jadi, bukankah di sinilah tempat yang paling tepat untukmu berpetualang? Tadabbur?Ngetrip? Adu nyali? Apapun kau menamainya. Mengapa kau harus berjalan kaki ribuan meter menanjak? Padahal, di tengah kota kau tak tahan tanpa berkendara meski itu hanya sepelemparan bola. Mengapa kau mati-matian mengganjal perut dengan mie instan? Padahal, di tengah kota kau coba semua makanan. Mengapa kau harus sisakan banyak waktu demi sekelumit kebanggaan? Di rumah ayah-ibumu resah menunggu anaknya pulang.
Kau berkali-kali tersenyum manakala aku mencecarmu dengan pertanyaan dan pernyataan. Senyum yang lebih manis daripada senyum hasil jepretan DSLR yang terpajang di instagrammu. Katamu, baru kini kau tahu aku begitu anti ngetrip dan lucunya kau malah suka. Dua tahun kita berteman, bersayang-sayang, begitu aneh kau baru merasakan. Jadi, selama ini sindiranku terlalu halus hingga kau sangka pujiankah? Katamu, amarahku baru nampak setelah tiga kucing hutan itu tanpa dosa disantap seorang gadis yang juga berstatus mahasiswa. Lebih nampak lagi ketika kebun bunga amarillis yang ingin kukunjungi esoknya telah ludes diinjak-injak manusia otak dangkal.
Jadi, ketika setahun lalu kutandaskan mengundangmu untuk berkunjung ke bukit ini seorang diri. Kuingatkan pula agar kau tidak lupa membawa tasbih dan sajadah.  Malah kau mengira aku mengadu nyalimu dengan lelembut? Kau termasuk manusia otak dangkal itu atau aku yang memang tak pandai mengungkap rasa? Baiklah, sekali lagi akan kuceritakan padamu. Sekarang. Sebab sudah kubilang hanya di sini jiwaku beranak. Di sini aku dapat mencumbui semua emosi. Semoga kali ini kau bisa mengenalku dengan benar.
Waktu itu aku mengundangmu, sebab kau bilang akan bolos kuliah 3 hari demi naik gunung merapi yang angker itu. Kau ingin menahlukan sombongnya merapi yang bergoyang-goyang menakuti semua orang. Juga sifatnya yang sok misterius hingga melahirkan dongeng mak lampir yang tak berkesudahan. Dari pada kau ke sana mempersembahkan nyawa yang hanya dibayar banggamu sendiri tanpa memikirkan perasaan orangtuamu, lebih baik kau datang ke bukit ini. Bukit ini tak kalah angker dengan merapi, makanya tak ada yang berani mengeruknya. Kata orang-orang, hanya hati yang tak mengharap apa-apa yang akan selamat. Sudah banyak cerita orang tersesat di bukit kecil ini karena menyimpan niat jahat. Satu, dua bahkan mati tanpa sebab. Untuk itu aku berbangga diri, sebab ratusan kali melamun di sini tak pernah kesurupan apalagi sampai tersesat. Apa sekarang kau sudah mulai merinding?
Di dekat bukit ini, ada sumur tua yang kering. Entah dongeng entah nyata, sumur itu katanya sarang ular-ular sawah. Kala malam, ular-ular sebesar lengan keluar dari sana. Jumlahnya puluhan. Bukit ini jadi salah satu tujuannya mencari santap malam. Belum lagi nyamuk-nyamuk subur seperti yang saat ini mengelilingi kita-untung pakai lotion anti nyamuk. Lalu orang-orang berhati jahat yang kuceritakan barusan. Jika dia tersesat di sini, dia panik, mungkin saja tak segan mengancam dan membunuh lawannya. Mungkin kau akan jadi daftar mayat mengenaskan berikutnya yang ditemukan di sini. Kisah yang seperti ini sudah pernah terjadi. Semua itu adalah unsur horor yang ingin kau cari, bukan?
Jika yang kau cari keindahan alam, maka itu sudah terpampang jelas di depan mata kita sekarang. Tak usah kau sangkal lagi. Sudah kuceritakan di awal. Sudah kau saksikan sedari tadi. Tadi, sewaktu baru datang aku sempat melihat mulutmu menganga. Itulah sebabnya aku ingin kau datang membawa sajadah dan tasbih. Di tempat indah, horor, sekaligus misterius ini aku ingin kau berdzikir. Berserah pada Tuhan atas segala kemungkinan. Bersyukur pada Tuhan atas segala keindahan. Hanya terkagum pada Tuhan yang dapat menciptakan semua hal bersamaan. Kita yang selalu merasa berkuasa atas alam, ternyata hanyalah manusia lemah yang misa di shut down Tuhan kapan saja.
Berhubung kita masih akan lama duduk di sini kuceritakan satu kisah menarik lagi. Mungkin kau akan menganga lagi atau malah mengira aku mengarang. Jika pun ini karangan, sumpah bukan aku yang mengarang. Ceritaku kali ini tentang budaya masyarakat yang bertahan hingga kini. Hal ini juga menjadi alasanmu memutari negri ini, bukan?
Lihatlah gunung membiru di kejauhan sana. Gunung yang tadi kubilang menangkup wilayah ini. Amatilah gunung itu, mumpung cuaca hari ini terang seperti ini. Nanti, kau akan temui bentuk seperti seorang perempuan tidur telentang. Kepalanya di selatan, kakinya di utara. Puncak-puncak gunungnya seperti diukir membentuk siluet dahi, hidung yang amat mancung, dan dagu lancip mempesona. Rambutnya seolah diurai. Semuanya terlihat begitu detail. Bahkan, payudaranya berjajar sama besar. Tapi, percayalah siluet itu tidak diukir dengan peralatan pak tukang yang membangun rumah kita. Bukan para seniman pahat dari Bali. Bukan pula pengukir wajah presiden di gunung Rushmore, Amerika Serikat.
Siluet itu diukir oleh sebuah dongeng yang diawali kata “Pada zaman dahulu kala,”. Tak pernah ada yang tahu kapan dahulu kala yang dimaksudkan. Sejauh ini tak ada sejarahwan yang mengklaim kisah ini tertulis di sebuah lontar tua atau prasasti yang terpendam ribuan tahun lamanya.
Beginilah kelanjutan kisah yang bermula “Pada zaman dahulu kala,” itu. Seorang gadis desa tumbuh semakin cantik. Cantik yang begitu asri sebab, kala itu tentu belum ada kosmetik Cina, apalagi operasi plastik Korea. Gadis desa yang begitu murni sebab belum mengenal cinta. Kala itu belum ada sinetron dari TV yang bisa ditiru anak-anak belum nalar. Gadis desa yang begitu lugu, sebab kala itu belum ada yang mengajarinya gerakan feminisme. Gadis desa yang barangkali hanya dapat mengerti, kelak jika umurnya sudah empat belas tahun harus menikah. Tanpa tahu menikah itu untuk apa.
Bunga yang mekar selalu menarik perhatian, begitu pun gadis ini. Cerita klise pun terulang. Para jejaka datang berebut. Di antaranya adalah jejaka-jejaka otak dangkal. Mereka tak mau kalah antrian. Mereka hanya mau tahu harumnya bunga yang sedang mekar. Menghirup dalam-dalam aromanya meski harus mencabut dari tangkai. Layu dan mati setelahnya bukanlah sebuah urusan besar. Baginya yang terpenting hasratnya telah tercapai. Aroma bunga akan dikenangnya sebagai hasil petualangan yang membanggakan. Gadis itu benar-benar layu. Harapan hidupnya kandas. Dia berlari ke puncak gunung. Menangis hingga ajal menjemput. Semesta ingin mengenangnya. Perlahan-lahan bukit itu terbentuk sedemikian rupa. Gadis malang itu diingat dalam dongeng. Andai saja para petualang mengerti yang dimaksudkannya.
Kau tersenyum getir. Katamu “Jadi kau tak suka, ketika aku turun dari Merapi membawa anggrek hidup untukmu?”
“Ya.”
“Lalu, kenapa kau terima?”
“Kasihan jika anggrek itu mati. Setelah anggrek itu tumbuh subur sekali, akan kutanam di sini.”
“Bukannya sudah beranak?”
“Memang. Tapi, terlalu kecil dan badannya belum gemuk.”
“Jadi, jika kamu begiu mencintai bukit ini, negri ini, kenapa kamu begitu ingin ke Inggris?”
Aku tersenyum puas. Kau menanyakan pertanyaan yang kutunggu-tunggu. Coba, seberangilah mataku. Mengapa aku begitu ingin ke sana? Tak bisakah kau tebak?
Inggris negri yang begitu wibawa di mataku. Gedung-gedungnya menjulang dibangun dengan tembok tebal nan kokoh. Negara yang begitu lama bertahan dalam kuasa. Namun, masih menyimpan arti bertatakrama. Bahasanya digunakan di seluruh dunia. Pendidikannya diantri jutaan calon pelajar. Masa telah berganti, namun negri ini bertahan dipimpin oleh raja dan ratunya. Banyak tempat wisata yang menghijau. Sejuk dipandang mata. Banyak museum, semua sejarah dan legenda disimpan di sana.
Di sana aku ingin menguji cinta. Aku percaya negriku adalah hal terindah yang kupunya. Negri terkaya. Bahkan, tanpa bekerja pun aku bisa makan. Tinggal kusiram tanaman-tanaman setiap hari. Kupelihara ternak. Lalu tanaman dan ternak kuberi makan silang. Aku tak perlu melihat pemimpin yang mulai goyah karena ujian harta. Aku hanya perlu melihat para petaninya, nelayannya, budayawannya, dan orang-orang yang masih percaya negri ini bisa dibanggakan serta tetap sekaya dahulu. Lalu, cinta ini akan membuatku yang ada di sana merindu bumiku, bukitku. Aku pun akan menggumamkan lagu puji-pujian untuk negriku, biarlah mereka tak mengerti mengapa aku masih cinta negri penuh drama ini. Air mataku akan meleleh dan aku tak kuasa menahan pulang, biarlah mereka mengira aku bodoh mau kembali ke negri yang serba sulit ini. Keindahan negri lain tak mampu membendung cinta pada negriku sendiri. Aku percaya, di sinilah rumahku. Maka, ketika rindu tak mampu kutampung. Aku segera pulang, sebab tak akan tahan berenang dalam tanya, “Masihka bukitku kokoh berdiri?”
Lihatlah! Di kejauhan sana bukit itu tinggal separuh, yang separuh sudah diangkut truk untuk sekedar dijadikan tanah urug. Beberapa sudah lenyap menjadi sawah. Ketika tidak cukup, mereka mulai merangkak ke lereng gunung. Merobohkan pohonnya. Mengeruk bukitnya. Menggulingkan batunya. Mereka melakukannya sambil berkata “Demi masa depan yang lebih baik, pembangunan akan terus dilakukan.”
Kau sekali lagi tertawa getir. Aku tahu, di hatimu, kau menilai negeri ini sudah sangat miris keadaannya. Oleh sebab itu, kau mendaki ke sana- ke mari mencari kebenaran. Mencari Tuhan. Mencari keindahan yang tersisa dari negeri ini untuk kau cintai. Tapi, terkadang kau lupa. Kau terlalu narsis dan hanya ingin memuaskan ego sendiri. Bersama teman-teman sekelompokmu sebenarnya. Kau bawa-bawa bendera. Kau kibarkan di setiap puncaknya. Kau bawa sajadah kau sujud di setiap tempatnya. Padahal negeri ini hanya ingin kau menjadi generasi yang benar. Tentu negeri ini tak hendak menjadikan orang yang hanya dapat keluyuran tapi tak pintar untuk dijadikan pemimpinnya. Padahal Tuhan tak minta kau sujud di sana. Tuhan ingin kau sujud di rumah-Nya. Berbuat baik sebanyak-banyaknya. Bukan mendekatkan diri pada bahaya.
Aku tahu, bahkan aku tak lebih baik darimu. Hanya, aku ingin sekali saja menumpahkan caraku mencintai. Aku hanya ingin kau menemaniku mencintai negeri ini dengan sederhana. Lalu kita berdua akan menyanyikan lagunya Gombloh dari bukit sekencang-kencangnya:

“Lestari alamku, lestari desaku
Di mana Tuhanku menitipkan aku\
Nyanyi bocah-bocah di kala purnama
Nyanyikan pujaan untuk nusa”

Jember, 05 Desember 2015
Dari kamar suara jangkrik bersahutan dengan
sholawat dan deru motor yang sesekali lewat.

Comments

Popular posts from this blog

Klasifikasi Puisi, Pengertian, dan Ciri-Cirinya

Badai Cinta